Guru Besar Hukum Pidana: Revisi KUHAP Diharap Perbaiki Mekanisme Prapenuntutan

JAKARTA – Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso berharap Revisi KUHAP dapat memperbaiki mekanisme prapenuntutan. Prapenuntutan yang tersebut diatur di KUHAP ketika ini dirasakan bukan sepenuhnya efektif.
“Hal itu disebabkan desain hubungan koordinasi yang digunakan terpisah antara penyidik serta penuntut umum . Otomatis, penuntut umum kehilangan kendali untuk mengawasi lalu mengarahkan jalannya penyidikan, agar penuntutan berhasil. Penyidikan tanpa arahan berpartisipasi penuntut umum seringkali berujung pada berlarut-larutnya proses penyidikan,” kata Topo melalui keterangan tertulis, Kamis (20/3/2025).
Terkait prapenuntutan tukasnya, terdapat perkara-perkara yang digunakan penyidikannya bukan diberitahukan untuk penuntut umum, berkas perkara yang mana bolak-balik, atau banyaknya berkas yang dimaksud bukan pernah dikirim pada jaksa setelahnya dikembalikan pada penyidik. Publik sebagai pencari keadilan akhirnya menjadi korban sebab sejumlah perkara perbuatan pidana yang dimaksud terjadi tak terselesaikan.
“Padahal, salah satu tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk menyelesaikan tindakan pidana yang terjadi, sehingga setiap perkara harus ada akhirnya,” ujarnya.
Ia menegaskan revisi KUHAP harus mampu memperbaiki relasi lalu keterpaduan, penyidik juga penuntut umum, khususnya koordinasi polisi lalu jaksa. “Jangan sampai, baik jaksa maupun polisi, bekerja didunianya sendiri, bukan ada relasi yang tersebut cukup untuk saling mengimbangi,” jelasnya.
Topo sependapat revisi KUHAP telah lama menjadi permintaan mendesak guna merespon perkembangan pada hukum pidana dan juga hukum acara pidana, dan juga putusan Mahkamah Konstitusi. Ia memaparkan pada waktu ini sumber hukum pidana materiil tidak cuma KUHP, melainkan sudah ada lahir lebih lanjut dari 10 UU Pidana Khusus yang mana di area dalamnya juga mengatur sebagian segi formil (acara pidana) secara lex specialis.
Menurutnya, adanya penyidik dalam luar penyidik Polri kemudian PPNS, yang digunakan diatur di dalam luar KUHAP harus dipandang sebagai ketentuan yang dimaksud khusus, sehingga sesuai dengan prinsip lex specialis derogat legi generali. Adanya penyidik di area luar polri kemudian PPNS itu masih berlaku, bahkan perlu ditegaskan eksistensinya pada revisi KUHAP.
“Dengan demikian, sumbernya bukanlah belaka KUHP, melainkan juga UU Pidana Khusus serta UU Sektoral (UU Administratif) yang digunakan memuat ketentuan pidana. Sebagai ketentuan yang dimaksud bersifat khusus maka berbagai segi hukum acara pidana di area luar KUHAP yang sejatinya melengkapi KUHAP, termasuk adanya penyidik Jaksa, KPK, juga lainnya Hal ini tidak ada bisa saja dipandang sebagai penyimpangan norma ataupun harus dihapuskan atau disesuaikan dengan KUHAP,” tuturnya.
Ia mengungkap sekurangnya ada lima alasan di dalam balik kebijakan pemerintah hukum mengapa kejaksaan diberi kewenangan penyidikan. Kelimanya yakni check and balances, expertise and resources, public confidence and impartiality, mempercepat proses (streamlining the process), juga pengetahuan yang digunakan khusus dan juga fokus.
Menurutnya, dalam berada dalam kinerja kejaksaan juga kepercayaan rakyat yang semakin meningkat, telah dilakukan ada pula beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang mana menyatakan kewenangan kejaksaan melakukan penyidikan langkah pidana korupsi adalah konstitusional.